Senin, 09 April 2012

Sejarah Sidoarjo (Bab IV - JALAN LEMPANG KE SIDOARJO bagian-IV)

“Dari Arak Api hingga Terpisahnya Anak-Isteri”

Manisnya gula tak semanis sejarahnya. Ada politik saling menelikung, ada pedihnya penderitaan petani tebu, dan ada senggol menyenggol kepentingan ekonomi. Sejarah berdirinya pabrik-pabrik gula di Sidoarjo, bak ungkapan tadi. Dindingdinding tebal berlumut PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong dan PG Krian, menjadi saksi bisu, betapa kompleksnya persoalan di balik bulir-butir putih nan manis, yang melengkapi secangkir kopi, teh atau susu itu, agar rasanya membuat lidah bergoyang.

Memang pada akhirnya, kita hanya bisa tergagap. Betapa gemilangnya dunia pergulaan berubah meredup.
Bill Guerin, kolomnis Asia Times, memaparkan bahwa saat ini, secara makro industri gula nasional telah hancur.
Padahal, pada era kolonial, Jawa pernah mengalami masa keemasan bahkan termasuk terbesar kedua di dunia,
setelah Kuba.

Analisis yang bernada kelakar, barangkali dikarenakan tanaman tebu gula atau suikerriet bukan tanaman asli
Indonesia, sehingga tidak betah memberi kontribusi besar di tanah yang bukan kelahirannya. Namun, di negeri asalnya sendiri, India Timur dan Pasifik selatan, ternyata tebu juga tidak juga dijadikan idola yang menghasilkan kekayaan berlebih.

Baiklah, mari kita tengok sejarahnya. Konon, penyebaran tebu gula dimulai oleh para pedagang Tionghoa dan Arab yang berlayar hingga ke Jawa sekitar abad ke-8. Kala itu, air tebu merupakan barang mewah, yang konsumennya hanyalah segelintir elite yang memiliki privilege saja.

Sampai abad ke-15, masyarakat Jawa umumnya masih memakai jenis pemanis lain, seperti madu dan tanaman umbiumbian. Hingga kemudian hadirnya tanaman kopi, teh dan coklat yang dibawa oleh kolonialis Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda maka air tebu menjadi kebutuhan pokok, sebagai pemanis minuman dari bahan tanaman itu.

Apalagi setelah orang-orang Tionghoa menemukan alat pengepres tebu yang kemudian ditiru prototipenya oleh Portugis dan Spanyol, yang berekspansi ke Hindia Barat dan Amerika Selatan. Sejak itulah gula muncul menjadi barangdagangan yang dikonsumsi luas terutama di daratan Asia dan Eropa.

Perkembangan pengepresan tebu di Jawa, secara profesional dimulai di Batavia, pada awal abad ke-17 dengan pengelola warga Tionghoa. Sebuah buku yang secara sekilas mengupas kisah keberhasilan dagang kaum bermata bermata sipit ini adalah “Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawie dalem tahon 1740,” yang ditulis Hoetnik tahun 1923.

Syahdan, Ni Hoe Kong adalah orang kaya yang tinggal di sekitar Ommelanden, Batavia Selatan. Ia terpilih sebagai Kapitein Tionghoa di Batavia tahun 1740. Pengertian Kapitein dalam tulisan Hoetnik, barangkali semacam pemimpin sosial dan bukan gelar kepangkatan dalam bidang kemiliteran.

Saat itu, syarat seorang diangkat jadi Kapitein adalah kaya raya. Dan agaknya, di antara kalangan kongometat Tionghoa lainnya, Ni Hoe Kong termasuk yang paling pantas mendapatkan gelar itu. Ia adalah pemilik banyak tanah dan 14 penggilingan tebu, yang disewakannya ke warga Tionghoa yang lain.

Para konglomerat Tionghoa itu tidak lupa menggandeng para pejabat VOC yang juga pedagang besar. Mereka terlibat dalam membiayai penggilingan-penggilingan tebu ini. Bahkan, VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1637 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. VOC biasanya membeli dari para Tionghoa, dengan harga setiap pikul antara empat hingga enam rijksdaalder tergantung kualitasnya.

The World’s Cane Sugar Industry Past & Present karya Geerligs, menjelaskan, bahwa sayangnya awal yang begitu baik ini tidak didukung kemampuan dalam melakukan kompetisi pasar. Ketika India, koloni Inggris, juga memasok gula ke Eropa, VOC surut dari percaturan perdagangan gula. Penggilingan yang aktif merosot menjadi hanya tinggal sepuluh buah pada tahun 1660.

Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa, tidak serta merta mengendurkan semangat warga etnis Tionghoa. Mereka tetap gigih mengusahakan pengepresan gula, hingga tercatat pada tahun 1710 tercapai jumlah sekitar 130 buah penggilingan, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan kurang lebih 300 pikul.

Meskipun demikian pada masa-masa selanjutnya terjadi pasang surut pada jumlah penggilingan maupun produksinya. Seperti dalam tahun 1745, terdapat 65 penggilingan sedang pada 1750 naik menjadi 80, dan di akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar 100.000 pikul gula.

Wajar jika pertanyaan muncul, apa yang menyebabkan jumlah penggilingan di atas mengalami pasang-surut sangat drastis? Ada kemungkinan karena sederhananya penggilingan atau pengepres gula tersebut sehingga dapat dipindah-pindahkan.

Elson, dalam The Impact of Governement Sugar Cultivation in the Pasuruan Area, East Java, During the Cultivation System Period mengungkapkan, bentuk dan teknologi pengepres tebu ini, hanya terdiri dari dua buah selinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan, dengan salah satu selinder diberi tonggak sedang pada ujung tonggak diikatkan ternak, atau digunakan tenaga manusia untuk memutar selinder.

Sementara itu pada salah satu sisi pengepres biasanya satu orang atau lebih memasokkan tebu. Kemudian hasil pengepresan dialirkan ke kuali besar yang terletak tepat di bawah selinder. Mudah pengoperasiannya dan dapat dipindah-pindahkan menurut kebutuhan. Di masa panen tebu, penggilingan-penggilingan ini akan dibawa menghampiri kebun yang sedang panen.

Sedang tenaga kerja yang digunakan penggilingan penggilingan Tionghoa ini, dikerahkan buruh-buruh etnis
Tionghoa yang sangat banyak, dan buruh-buruh Jawa yang didatangkan dari karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah, terutama dari Cirebon, Tegal dan Pekalongan.

Hoetink memperkirakan, dari segi politis, berlimpahnya populasi komunitas Tionghoa di sekitar Batavia ini belakangan membuat komunitas Eropa ketakutan. Sehingga di tahun 1740, terjadi ‘pembasmian’ orang-orang Tionghoa.
Ada dua dugaan tentang sebab-sebab merosot hingga berakhirnya penggilingan-penggilingan ini. Pertama, diajukan oleh Knight yang melihat bahwa, faktor-faktor ekologis cukup besar pengaruhnya sehingga menyebabkan keruntuhan industri gula Ommelanden.

Sebagaimana diketahui, dalam proses pemasakan gula sangat banyak diperlukan kayu bakar. Rupa-rupanya orang-orang Tionghoa, dalam periode hampir seabad, telah dengan sangat intensif, menggunduli pohon-pohon dan fertilitas dataran rendah Batavia.

Sedang dugaan lain dapat diikuti dari Geschiedenis van de suiker op Java atau Sejarah Gula di Jawa, yang memberi sepenggal informasi yang menyatakan bahwa penggilingan ommelanden sangat tergantung pada modal yang disediakan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie.

Kumpeni begitu orang Jawa mengatakan, setiap tahunnya menyediakan dana untuk uang panjar atau persekot sebesar 8.000 gulden. Dan bantuan keuangan ini terhenti dengan terjadinya peperangan di Eropa yang dikomando Napoleon Bonaparte dari Prancis.

Kedua dugaan tersebut bisa jadi saling berkorelasi. Meskipun dugaan yang pertama akan sulit untuk dibuktikan, karena belum ada penelitian untuk mendukung pendapat tersebut. Sedang pendapat kedua mungkin lebih mendekati kebenaran. Sebab berhentinya penggilingan-penggilingan Tionghoa ini juga bersamaan waktunya ketika VOC bubar di akhir abad 18.

Namun demikian, bagaimanapun juga, gula atau sirup tetap menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa yang bermukim sementara waktu di Jawa dan pesisir Asia Tenggara dan Timur.

Karena, selain gula dipergunakan sebagai pencampur minuman kopi, coklat dan teh, tetes atau gula kental pun dapat diolah melalui fermentasi tertentu, diubah menjadi arak atau rum. Sehingga, meskipun industri ommelanden runtuh di akhir abad 18, tidak mematikan bisnis penggilingan gula yang mulai muncul di tempat-tempat lain.

Arak dan rum menjadi hampir separuh produksi ommelanden. Setelah industri gula Batavia ini runtuh, produksi arak dilanjutkan oleh para pedagang-besar Inggris pada perkebunan Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat.

Dalam tahun 1820-an, dua buah penggilingan milik Tionghoa yang berada di Karesidenan Pekalongan, yang
memproduksi sekitar 1800 pikul gula setiap tahunnya, mengirimkan empat per lima produksi tetes-nya atau sekitar 1.440 pikul ke Batavia dan Semarang untuk disuling menjadi rum.

Penyulingan rum menyurut dengan runtuhnya industri gula yang dikelola para pedagang besar Inggris di akhir
1820-an. Raffles dalam The history of Java tahun 1817, bahkan pernah memuji arak buatan Jawa. Ia mensejajarkan arak Jawa dengan arak buatan Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi Jawa terkenal dengan julukan arak api.

Pada kurun cultuurstelsel, arak hanya diproduksi oleh beberapa pabrik, antara lain Wonopringo, Pekalongan. Menurut Geerligs, merosotnya produksi rum dan arak, karena dianggap telah tidak menguntungkan untuk dijual. Di Eropa produksi rum dan arak sangat melimpah, sehingga harganya merosot.

Gula masih tetap diproduksi oleh orang-orang Tionghoa di sepanjang karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur atau Oosthoek. Namun, kedudukan para pengolah gula terlalu lemah, sehingga pada saat terjadi meningkatnya per-mintaan gula, manufaktur-manufaktur yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa ini dirampas oleh orang-orang Eropa. Dan kemudian dikelola dengan cara sewa desa, yaitu desa-desa dilepaskan dari kekuasaan para bupatinya, antara 3 sampai 10 tahun.

Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels, 1808-1811, sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi penghapusan sewa desa ini pun dikenakan pada desa-desa yang memproduksi barang yang tidak menguntungkan gubernemen. Sedang desa-desa penghasil nila dan tebu gula yang menggunakan sistem sewa desa, masih tetap dipertahankan.

0 komentar:

Template by:
Free Blog Templates